Oleh Lukman Hakiem, Adik Kandung KH Moch Athoillah Mursjid
SESUDAH dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, sekitar dua pekan, akhirnya takdir Allah subhanahu wa ta’ala datang. KH Moh Athoillah Mursjid wafat pada hari Ahad, 11 Juni 2023 sekitar pukul 02:30 WIB. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.
Allahyarham terlahir sebagai anak sulung dari pasutri HM Mursjid Nawawi (1930-1989) dan Hajjah Siti Wardah Fudholi (1935-2011).
Selalu Terdepan
APAKAH ada hubungan dengan posisinya sebagai anak sulung – yang saya saksikan – Allahyarham sering, jika tidak selalu, tampil terdepan.
Pada 1971, ketika masih di kelas II SLTA, Allahyarham tampil mengasuh program Mimbar Agama Islam di sebuah radio swasta di Bogor.
Rupanya program yang diisinya itu cukup diminati oleh pendengar. Terbukti, Allahyarham cukup lama mengasuh program tersebut.
Tidak hanya berbicara, Allahyarham juga rajin menulis di media massa. Yang ditulis pun rupa-rupa topiknya.
Kreatif
Ketika membaca aneka rupa tulisannya itu, saya terheran-heran oleh luasnya pengetahuan Allahyarham.
Bertahun kemudian, ketika bersilaturrahim ke adik sepupu ibu saya, yang saya sapa Mang Cucun, beliau menanyakan kabar Athoillah yang saya jawab: “baik”.
“Mang Cucun bertanya lagi: “Atho masih suka menulis?” Untuk pertanyaan ini, saya jawab: “Tidak tahu, tapi dia pernah jadi wartawan. “Atho mah kreatif,” ujar Mang Cucun tiba-tiba, seolah mengalihkan pembicaraan.
Tidak langsung menjawab pertanyaan, Mang Cucun bercerita bahwa dirinya, ketika masih muda, rajin menulis di media massa. “Untuk tambahan penghasilan.”
“Dulu, belum ada komputer. “Masih menggunakan mesin tik.” Jika sedang tidak fokus, tulisan nggak jadi-jadi. Kertas saya sobek, dan saya buang ke tempat sampah,” cerita Mang Cucun yang saya belum tangkap ke mana arahnya.
Waktu itu, Atho tinggal serumah dengan Mang Cucun di Lebak Soto, Empang Bogor.
Rupanya, tiap pagi Atho rajin membersihkan kamar Mang Cucun. Termasuk memeriksa tempat sampah. Karena sampah kering, tempat sampah itu bersih.
“Nah,” Mang Cucun melanjutkan ceritanya.
Rupanya, diam-diam Atho membaca tulisan yang sudah diremas, dirobek, dan dibuang ke tempat sampah itu.
Sesudah dibaca, tulisan yang sudah dibuang itu dia rekonstruksi dan diketik ulang, rapi. “Berkat kreativitas Atho, tulisan yang sudah dibuang itu dapat dibaca oleh publik, karena dimuat di media massa.
“Itu bukan penjiplakan?” saya bertanya, penasaran.
“Bukan,” ujar Mang Cucun, yakin. “Apalagi tulisan itu tidak selalu diatasnamakan Athoillah. Lebih banyak atas nama saya atau nama samaran saya,” ujar Mang Cucun, menambahkan.
Jika pun bukan penulis, di usia belia, Allahyarham diam-diam sudah menunjukkan potensinya sebagai penyunting naskah. Dan, hasil suntingannya cukup berbobot, terbukti media mau memuat hasil suntingannya.
Mau belajar
KETIKA saya menjadi Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur Pelaksana Majalah Kiblat, beberapa kali Allahyarham mengirim tulisan melalui pos. Tulisan itu saya baca, dan saya simpulkan, isinya cukup bagus, hanya cara menulisnya belum baik.
Sesudah beberapa kali mengirim tulisan, dan belum dimuat, rupanya Allahyarham penasaran.
Suatu hari dia menelepon menanyakan nasib tulisannya. Sesudah saya jelaskan, akhirnya saya minta Allahyarham untuk datang ke kantor.
“Transportasi nanti diganti. Kebetulan sedang ada Pemimpin Redaksi, Pak EBA (Endang Basri Ananda, red). Nanti kita bisa diskusi”.
Hari itu juga Allahyarham datang. Segera saya ajak masuk ke ruang Pemimpin Umum yang sedang kosong.
Di ruang Pemimpin Umum. Itu saya tunjukkan kelemahan tulisannya, dan Pak EBA, seorang editor handal, memberi bimbingan.
Sesudah dirasa cukup, saya bertanya: “Mau diperbaiki di rumah, atau ditinggal di sini. Insya Allah edisi depan dimuat”.
Saya persilakan Allahyarham untuk menemui Pak Bandi, kasir, untuk mengambil pengganti transport.
Ketika tulisannya muncul di edisi berikutnya, Allahyarham menelepon, menyampaikan terima kasih. Dan yang terpenting: “Wah! Tulisan Akang jadi bagus”. Saya jelaskan, itu karena dikoreksi langsung oleh Pemred.
Sejak itu, tulisan-tulisannya mengalami perubahan yang cukup signifikan. Makin enak dibaca.
Seiring dengan perbaikan tulisannya, Allahyarham makin rajin menulis, dan makin kerap dimuat.
Meskipun sudah punya pesantren, kegiatan tulis menulis tidak ditinggalkan. Dia menjadi wartawan di beberapa media.
Legasinya di bidang penulisan adalah gagasannya menerbitkan buku Ulama Pejuang Kabupaten Bekasi.
Salah seorang tokoh dalam buku itu, KH Raden Makmun Nawawi, kini sedang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat untuk dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional.
Kepeloporan dan Talenta Kepemimpinan
Yang menonjol dari Allahyarham ialah kepeloporan dan kepemimpinannya.
Di awal 1970-an, di usia masih sangat belia, — Allahyarham – menggerakkan kaum Muslimin Cikarang untuk sholat Idul Fitri di lapangan terbuka.
Gagasan yang cukup spektakuler di masanya itu, ternyata disambut positif oleh masyarakat, tanpa ada sesuatu reaksi negatif.
Demikianlah, shalat Id dilaksanakan di lapangan Polsek Cikarang, di halaman penggilingan beras Cibeo, dan di pelataran Terminal Cikarang.
Jika sedang berlibur di Cikarang, ada saja yang dilakukan Allahyarham. Ketika belum ada Karang Taruna, beberapa kali remaja dan pemuda dikumpulkan, dilatih bermain drama, dan membaca puisi. Hebatnya, remaja dan para pemuda itu patuh belaka.
Keterdepanan, kreativitas, kepeloporan, kepemimpinan dan kemauan belajar, Kiai Athoillah Mursjid adalah inspirasi untuk keluarga, sahabat, anak-anak, para cucu, dan santri-santrinya.
Kini Athoillah memberi inspirasi tidak hanya ketika hidup. Sesudah wafat pun Kiai Athoillah tetap memberi inspirasi.
Jamaah shalat jenazah yang nyaris memenuhi Masjid Nurul Huda yang cukup besar di Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, adalah inspirasi itu.
Tidak semua seberuntung Kiai Athoillah yang di shalat jenazahkan oleh ratusan jamaah.
Tokoh-tokoh masyarakat, pejabat, mantan pejabat, ulama dan pemimpin ormas Islam, bahkan tokoh lintas agama datang bertakziah.
Kepada beberapa orang saya berkata: sudah wafat pun, Kiai Athoillah masih menunjukkan kelasnya. Dilepas oleh begitu banyak orang. Dishalatkan oleh begitu banyak ulama.
Semua itu, hanya mungkin terjadi karena dimasa hidupnya, Kiai Athoillah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Iangsung: Khairunnas ‘anfa’uhum linnas.
Mampukah kita mengambil inspirasi dari Allahyarham? Sebisa-bisa kudu bisa. Insya Allah, bisa. ***