Oleh: A. Hadinugroho
Allohumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala aali sayidina Muhammad
Tujuan spiritualitas puasa adalah mengantarkan manusia untuk mencapai kesadaran tertinggi, yaitu kesadaran spiritual.
Kesadaran spiritual adalah suatu kesadaran bahwa manusia bukan badan, bukan prana (kekuatan hidup), bukan pikiran, bukan emosi, bukan memori, melainkan spirit. Maka manusia hendaknya tidak mengidentikkan dirinya dengan semua unsur tersebut.
Ketika manusia sadar bahwa dirinya bukan badan, dia tidak perlu mengidentikkan dirinya dengan selera dan nafsu. Sebab, alat perasa yang disebut pancaindra hanyalah bagian dari tubuh manusia, maka manusia tidak perlu menuruti semua kemauan indra, apalagi sampai didikte oleh indra. Karena indra pada dasarnya adalah wujud lahir yang memiliki sifat serakah setelah menyaksikan ketakjuban dunia yang serba wah.
Salah satu keistimewaan khas ibadah puasa terletak pada potensinya memberikan kemampuan internal pada diri manusia yang dengannya ia dapat mengubah dan mentransformasi diri secara revolusioner atau signifikan. Kemampuan internal (inner energy) yang beroperasi pada jiwa-batin manusia itu adalah apa yang disebut dengan transformasi spiritual.
Kemampuan khas kemanusiaan ini sungguh teramat penting, karena berkat kemampuan transformasi inilah nilai-nilai spiritual menjadi nyata dan termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang dimaksudkan dengan transformasi spiritual itu?
Transformasi spiritual adalah perubahan mendasar dalam kehidupan spiritual seseorang dari kehampaan, menuju ke arah yang jauh lebih baik.
Transformasi Spiritual kaitanya dengan penyucian diri atau jiwa manusia.
Dalam hal ini akan terlihat adanya hubungan antara jiwa dan raga manusia, dimana ketika seseorang melakukan proses penyucian jiwa melalui riyadhah, memerangi hawa nafsu (mujahaddah), dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah, maka akan terjadi proses transformasi diri. Misalnya ketika seseorang sudah berhasil menahan diri dari sifat amarah, maka akan terpancar pada dirinya sifat penyabar. Karena orang lain akan tahu bahwa seseorang itu penyabar dari penampilan dirinya.
Adanya keterkaitan antara jiwa dan raga inilah menjadi enseni dari Transformasi Spiritual.
“Transformasi Spiritual dalam puasa adalah kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan”
Jadikan puasa dan ibadah Ramadhan sebagai proses tranformasi spiritual ihsan yang membentuk keshalehan individual dan keshalehan sosial. Sehingga terwujud tatanan kehidupan yang lebih baik dan bermakna.
Merujuk pada Al-Quran, bagi umat Islam tujuan akhir puasa adalah mencapai takwa; mengendalikan sikap dan perilaku sehingga terhindar dari perbuatan yang melanggar.
(Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Surat Al-Baqarah, Ayat 183).
Nilai-nilai moral adalah salah satu produk penting takwa. Dengan puasa manusia bisa merencanakan untuk membentuk kebiasaan yang mampu mengendalikan diri. Kemampuan ini adalah sebuah jalan menuju kemandirian, kematangan pribadi, dan transformasi spiritual.
Para pejalan Spiritual atau para sufi menteoritisasi puasa laksana misi pendakian gunung seperti yang dilakukan para aktifis lingkungan atau pecinta alam.
Ada para pendaki gunung yang terlatih akan dapat mencapai finis di puncak tertinggi. Ada pendaki yang pada setengah perjalanan rasanya telah sampai puncak, karena kurangnya latihan dan bekal, sehingga telah puas di tengah jalan.
Namun ada pula yang tak sampai di tengah perjalanan namun rasanya telah puas walau sedikit telah merasakan dahsyatnya melakukan sebuah petualangan yang indah.
Ketiga kelompok pendakian di atas, meskipun semua merasa mencapai finish dan derajat kebahagiaan, namun masing-masing berada pada tingkatan yang tidak sama.
Dengan merumuskan kategorisasi yang hampir sama dengan kaum sufi, Al-Ghazali, menyatakan bahwa transformasi spiritual yang mampu membangkitkan diri dalam puasa terdiri atas tiga tahapan atau tingkatan:
– Tingkatan pertama, puasa orang awam-umum (awam). Puasa dipahami sekadar menahan rasa lapar, haus, dan syahwat pada siang hari saja.
– Tingkat kedua, puasa orang khusus (khawash). Puasa pada level ini dipahami selain secara fisik-biologis (menahan lapar, dahaga, dan syahwat) ditambah pengekangan diri (pancaindra) dari perbuatan dosa..
Tingkat tertinggi, puasa orang sangat khusus (khawashul khawash). Puasa bukan sekadar menahan rasa lapar, haus, syahwat, pancaindra, melainkan juga seluruh peranti kehidupan manusia (jasmani-rohani).
Bagi kelompok ketiga ini, misi sosial merupakan salah satu sisi yang juga dilakukan “laku puasa” dengan menyantuni dengan sepenuh hati pada masyarakat yang sedang mengalami kesusahan (terbenam dalam lumpur kekusahan dan kesulitan hidup).
Puasa adalah syariat yang telah diwajibkan oleh Allah SWT sejak manusia hadir di muka bumi . Ibadah ini telah disyariatkan sejak zaman nabi Adam AS hingga Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW.
Dalam perspektif Rumi, puasa sejatinya ritual yang menghantarkan ruh manusia agar mendaki naik dan berproses menuju kesempurnaan.
Dengan berpuasa, jiwa-jiwa rendah manusia yang selama ini terikat oleh tarikan dunia material ditransformasi agar mampu menguasai dan mengontrol dorongan hawa nafsu bukan malah dikuasai dan dikendalikan olehnya.
Hasil akhirnya jiwa (Nafs) yang telah melakukan penyucian dengan puasa akan menjadi murni dan memiliki kesiapan (isti’dad) untuk menerima limpahan cahaya-Nya.
Jiwa ini menjadi Nafsu yang diridhai (al-Nafs al-Mardhiyyah) dan Nafsu yang tenang (al-Nafs al-Muthmainnah).
Mencapai kualitas puasa yang mampu membakar seratus hijab dan mendaki seribu derajat dalam perspektif Rumi ini tentu tidak mudah dilakukan. Diperlukan niat yang tulus, kesungguhan serta kesabaran agar mampu mewujudkan kualitas puasa tersebut. Kualitas ini sejalan dengan substansi tujuan puasa sendiri yaitu membentuk pribadi bertaqwa (QS.2:183).
Puasa bagi para pendaki/pejalan Spiritual tidak lagi dimaknai sebagai pergulatan menahan jiwa dari keinginan-keinginan untuk memuaskan hasrat perut dan birahi saja, karena mereka telah lepas dari itu. Tapi adalah perjuangan jiwa dalam menjauhi segala dosa-dosa lahir dan dosa-dosa batin.
Dosa lahir bersumber dari tujuh anggota tubuh, dua mata, dua telinga, mulut, perut, dan kemaluan. Dosa batin adalah segala hal-hal yang mampu menyeret hati ke lembah menduakan Tuhan (syirik khafy), semisal, ‘ujub, takabbur, riya’, sum’ah, hasad, cinta dunia dan lain sebagainya.
Tapi bagi para pejalan Spiritual (Sufi) yang telah mencapai maqam (derajat) akhir dalam perjalanan spiritual, puasa itu bukan lagi berkisar dalam peperangan hati dari segala dosa-dosa batin, karena dengan melalui perjalanan suluk yang panjang, melintasi beberapa tangga-tangga ma’rifatullah, hati mereka menjadi bening, bersih dari noda-noda batin.
Selain bening hati mereka pun steril dari ancaman virus noda-noda batin. Sehingga puasa bagi pejalan Spiritual yang telah sampai pada sebuah Kesadaran Spiritual, adalah menahan hati dari musyahadah kepada selain Allah, dan dari mencita-citakan sesuatu selain Allah.
Bagi mereka tiada yang disembah, diinginkan, dicintai, dan dimaksud kecuali Allah. Sehingga jika terlintas dalam hati keinginan atau cita-cita selain Allah maka rusaklah puasa mereka.
Salah satu kunci agar kualitas puasa kita mampu menghantarkan menjadi pribadi bertaqwa serta mampu menjadi spirit bagi kita untuk melakukan pendakian spiritual adalah cinta ilahiyyat (al-isyq al-ilahiyyat).
Ibadah ritual apapun jika niat awalnya adalah cinta , sesulit apapun akan terasa manis dan indah.
Nampaknya kita perlu mempertanyakan motivasi utama kita melakukan segala bentuk peribadatan maupun segala amal kebajikan yang selama ini kita lakukan.
Sebagian dari kita mungkin berpuasa motivasinya ingin mendapat pahala, ingin masuk surga dan terhindar dari neraka, ingin sehat dan diet dengan berpuasa dan lain sebagainya.
Niat niat tersebut tidaklah keliru namun alangkah lebih baiknya dengan semakin dewasanya pemahaman keberagamaan kita, kita tingkatkan motivasi kita melakukan segala ritual dan aktivitas kebajikan apapun termasuk dalam hal ini berpuasa hanyalah realisasi dari kecintaan kita kepada sang Maha Kekasih yaitu Allah SWT.
Dalam cinta tak ada paksaan, tak ada pamrih, tak ada hukuman dan ganjaran yang ada adalah kerinduan (al-‘isyq) mendalam untuk bertemu dan bersatu dengan sang kekasih.
Karena itu shalatlah karena cinta maka kita akan mengalami Mi’raj ruhani untuk bercengkerama dengan sang Kekasih muara segala pecinta , berpuasalah karena cinta karena dengan cinta segala lapar dan haus yang kita rasakan akan mampu membakar seratus hijab dan menaikkan kita ke derajat spiritual tertinggi untuk sampai kepada-Nya, berzakatlah karena cinta karena dengan cinta, pengorbanan harta kita demi menolong sang fakir miskin begitu dicintai Sang kekasih penguasa semesta, berhajilah karena cinta karena dengan cinta, Haji yang kita lakukan akan menghantarkan kita kepada Arafah (padang pengenalan Tuhan) dan Baitullah (Rumah sang kekasih).
Puasa merupakan medium yang tepat bagi sang jiwa untuk dilatih dengan didikan langsung dari Yang Maha Agung, Allah SWT.
Jiwa adalah unsur dalam diri manusia yang dipengaruhi oleh dua dimensi yaitu tarikan dunia rendah alam materi dan tarikan alam spiritual.
Jiwa ditarik oleh dimensi jasad yang berasal dari tanah dan dimensi ruh yang berasal dari alam ketinggian dan bersifat ilahiyah.
Puasa adalah bagaimana kita mengontrol segala tarikan yang berasal dari “kehewanan” kita.
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, dalam diri manusia tercampur empat jenis kecenderungan jiwa:
– Pertama jiwa syaitaniyah yaitu kecenderungan yang berasal dari sifat sifat setan semisal iri, dengki, licik, hasut, makar dan sejenisnya.
– Kedua jiwa Bahimiyyah yaitu sifat sifat binatang ternak seperti makan dan minum yang berlebihan.
– Ketiga jiwa Sabuiyyah yaitu jiwa binatang buas seperti buas, liar, dan marah yang berlebihan.
– Keempat jiwa Rububiyyah yaitu jiwa ketuhanan yang merupakan limpahan langsung dari sifat sifat Tuhan yang secara garis besar terbagi kepada sifat Keindahan (Jamaliyyah) dan Keagungan (Jalaliyyah) yang terangkum dalam Asma Al Husna.
Ini diperkuat oleh sabda Rasul terkasih Takhallaqu Biakhlaqilah artinya bersifatlah kalian dengan mencerap dan meniru sifat sifat Allah Azza Wajalla.
Puasa adalah bagaimana kita menjadikan sifat sifat Rububiyyah kita lebih dominan dan menguasai ketiga sifat diatas.
Untuk mencapai hal tersebut tidaklah mudah karena diperlukan niat yang kuat serta kesungguhan yang berlipat dan proses terus menerus tanpa jeda dari kita untuk memperbaiki diri, menambah ilmu dan kearifan.
Yang terpenting mempesiapkan (isti’dad) diri ini agar pantas dan memiliki sinyal rohani untuk menerima limpahan (fayd) dan limpahan cahaya (illuminasi ) hikmah-Nya yang setiap saat Tuhan pancarkan kepada alam wujud ini.
Para pendaki / Pejalan Spiritual menjelaskan bahwa gerakan menuju kesempurnaan (Al Harakah Al Kamaliyyah) dialami oleh setiap jiwa manusia.
Jiwa tersebut pada masa masa awal memerlukan jasmani agar bisa mengindividu dan eksisten. Dalam proses kembalinya jiwa dari alam material menuju alam spiritual manusia akan mengalami transformasi spiritual sesuai kadar dan potensi dirinya.
Karena itu jika manusia konsisten dan aktif mengikuti petunjuk yang diberikan akalnya serta petunjuk dari Sang Penguasa melalui para utusan-Nya maka jiwanya akan berproses menuju kesempurnaan.
Jiwa hasil proses transformasi ini akan melahirkan energi yang tidak terbatas dan dorongan positif untuk mewujudkan sifat sifat Rububiyyah Tuhan dalam konteks realitas sosialnya.
Energi langit diperlukan oleh manusia untuk keberlangsungan hidupnya di alam yang sementara ini. Setelah mencerap energi Ramadhan seharusnya jiwa seorang yang berpuasa akan berubah menjadi kualitas kualitas Muttaqin semisal pengasih, penyayang, penebar cinta dan kasih sayang serta peduli kepada sesamanya.
Para pelaku puasa setelah ditempa dalam kawah candradimuka Ramadhan selama sebulan penuh maka jiwanya selain memiliki ketajaman spiritual yang dipenuhi cinta universal, mereka juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kecintaan kepada Tuhan diejawantahkan dalam mencintai sesama. Membela yang tertindas, menjadi lokomotif perubahan sosial serta aktif dalam tugas-tugas kemanusiaan.
Transformasi Spiritual melalui puasa akan melahirkan watak manusia yang pengasih. Mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat harkat dan derajat kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan selalu menyertai sesama manusia yang berada dalam penderitaan.
Transformasi Spiritual dalam puasa adalah kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan.
Semoga bermanfaat,
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.