KRPI : UU Cipta Kerja Cacat Hukum, Minta Presiden Keluarkan PERPPU

MATA JABAR – Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker). Sehingga, mendesak Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan UU Ciptaker. Pasalnya, sewaktu masih Draft RUU, tidak membuka ruang publik dalam penyusunannya.

Sekretaris Jenderal KRPI, Saepul Tavip mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), tentang pembatalan pengesahan UU Ciptaker.

“Kami akan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, jika pemerintah memaksakan mengundangkan UU Cipta Kerja,” ujarnya dalam keterangan rilis, yang diterima wartawan.

Dia juga mengatakan, RUU Cipta Kerja adalah RUU inisiatif pemerintah. Draft disusun Pemerintah di bawah komando Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto. Metode yang digunakan Omnibuslaw berdampak pada setidaknya 79 UU eksisting dan tambahan substansi terkait pembentukan Lembaga Penjamin Investasi.

“Sejak digagas oleh Menko Perekonomian, RUU ini menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk pekerja, karena dianggap tidak membuka ruang publik dalam penyusunan RUU,” jelas Saepul Tavip.

“Namun, Pemerintah dan DPR memutuskan melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja, dalam forum Panja yang terdiri dari Pemerintah dan Baleg DPR RI,” tambahnya.

Dikatakan dia, penolakan dari berbagai pihak “diredam” dengan janji akan membuka ruang, untuk memberi masukan secara terbuka, dalam proses pembahasan. Beberapa perwakilan masyarakat memang diberi kesempatan, kendati demikian, sulit untuk menyampaikan gagasan.

“Ruang publik yang dijanjikan terindikasi hanya sebagai kamuflase, agar terkesan telah memenuhi Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011, yang mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu undang-undang,” bebernya.

Tavip sapaan akrabnya, juga sangat menyesalkan, berbagai usulan masyarakat seperti angin lalu, meskipun argumentasi filosofis, juridis, maupun sosiologis yang disampaikan berbagai pihak jauh lebih kuat. Karena bernafaskan konstitusi UUD 1945, ketimbang muatan Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja yang dibuat Pemerintah.

Disampaikan dia, saat Paripurna DPR RI, RUU Cipta Kerja disahkan sebagai undang-undang, pada Senin (5/10/2020), ajaibnya terindikasi kuat bahwa sesungguhnya tidak ada draft final, yang dibawa ke Paripurna.

Apalagi, hingga Selasa (6/10) dari Pemerintah maupun DPR RI, tidak menyampaikan kepada publik, soal materi UU Ciptaker yang diputuskan di Paripurna.

“Sama dengan lapisan masyarakat lainnya, KRPI hanya mendapatkan draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja dan “katanya” dibagikan ke media oleh salah satu pimpinan Baleg DPR RI,” ujarnya.

“Pertanyaan dasar!. Apakah suatu RUU disahkan sebagai UU tanpa ada draft final?,” sambungnya dengan nada pertanyaan sindiran.

Tavip menambahkan, jika draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja dan sudah beredar benar adanya. Pihaknya juga mempertanyakan, klaster ketenagakerjaan, yang berisi draft final berbeda dengan keputusan rapat panja RUU Cipta Kerja, pada Minggu, (27/9/2020) di Hotel Swissbell Tangerang.

KRPI pun memberikan catatan dengan contoh indikasi “Sabotase” keputusan Panja, terhadap klaster ketenagakerjaan:

– Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing).
Putusan Panja: Kembali ke UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Katanya” draft final: Syarat PKWT maksimal 3 tahun dihapus dan hanya ada sekali perpanjangan PKWT, outsourcing tanpa batasan, berlaku bagi jenis pekerjaan apapun (core dan non core), yang di UU Nomor 13 Tahun 2003 jelas batasannya.

Bunyi pasal tersebut jelas bernuansa kental semangat fleksibilitas, yang memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja, pekerja semakin rentan dilanggar hak-hak normatifnya, seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial.

– Catatan lain bahaya klaster ketenagakerjaan “yang katanya draft final RUU Cipta Kerja” yang selanjutnya disahkan menjadi UU Cipta Kerja terkait:

Pasal 88C tentang pengaturan upah minimum Provinsi menjadi wajib ditetapkan oleh Gubernur, sementara upah minimum Kabupaten/Kota menjadi dapat ditetapkan Bupati/Walikota. Frasa dapat berarti tidak wajib lagi sebagaimana diamanatkan dalam UU 13/2003.

KRPI menilai perubahan substansi tersebut berpotensi mereduksi nilai upah, sehingga mengancam penurunan kesejahteraan dan daya beli pekerja.

Pasal 151 dan Pasal 151A tentang prosedur dan mekanisme PHK yang lebih dilonggarkan, serta kompensasi PHK yang direduksi dengan dihilangkannya ketentuan 15% uang penggantian hak, dihapuskannya ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK di berbagai pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003, yang selanjutnya akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Pengaturan ini menunjukkan proses menurunkan tingkat perlindungan pekerja ketika mengalami PHK. Praktek easy hiring, easy firing yang membahayakan keberlangsungan bekerja bai pekerja Indonesia.

Pasal 42 sampai Pasal 49 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) lebih longgar. Pengaturan ini menunjukkan sikap tidak berpihak pada penciptaan lapangan kerja, bagi rakyat Indonesia dan melemahkan perlindungan terhadap pekerja Indonesia.

Pasal 77 tentang jam kerja lembur yang lebih panjang. Hal ini akan berpotensi buruk terhadap eksploitasi tenaga buruh/pekerja dan kesehatan mereka.

Pasal 46A dan 82 tentang tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan Pemerintah. Pengaturan ini juga berpotensi menurunkan imbal hasil JHT buruh/pekerja saat diatur lebih lanjut dalam PP.

Dengan demikian, draft yang “katanya draft final RUU Cipta Kerja”, yang artinya “katanya telah menjadi UU cipta Kerja” terindikasi kuat cacat hukum, cacat formil dan materil, yang bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi.

Apalagi, tidak berpihak dan tidak melindungi pada Pekerja/Buruh Indonesia, serta tidak menjamin terciptanya lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia. (red)

 

Pos terkait